Hidup adalah …

Dulu saya, dan mungkin sebagian dari kalian, pernah merenung atau mengkaji hidup kita — setidaknya secara sambil lalu. Kita melihat hidup yang kita jalani dari beragam sudut pandang. Sering kita sedih, senang, dikecewakan dan mengecewakan orang, berbohong dan dibohongi orang, pamer ini itu, senang julid dan gibah, disakiti dan balas menyakiti liyan, kadang terpicu untuk memaki orang atau keadaan, bertengkar, marah-marah di medsos, benci, kangen, fall in love with people we can’t have, ditinggal pas sayang-sayangnya, kadang (atau sering) ya sambat juga, dan seterusnya. Kita menjalani itu semua sering tanpa berpikir salah dan benar, dosa atau tidak — bahkan kita bisa menipu diri supaya tidak merasa salah/berdosa dengan mengubah mindset. Misal: Gibah dimaknai sebagai mereview atau profiling kepribadian orang lain. 😁

Atau kita bisa menciptakan banyak alasan untuk membenarkan tindakan dan perasaan kita, tak benar-benar peduli tindakan itu memang benar atau salah. Mungkin saja terlintas rasa bersalah saat melakukan sesuayu, tapi kita pandai sekali mengabaikan perasaan bersalah yang terasa kecil itu. Dan karenanya, dengan begitu banyak dosa dan kesalahan, kita tetap bisa tertawa dan gembira karena sebagian besar keburukan kita memang ditutup oleh Allah SWT. Lalu kita merasa semuanya akan baik-baik saja.

Semua perbuatan dan perasaan² negatif dan positif akan berlalu. Sebagian besar kita lupa. Lebih sering kita lupa kesalahan/dosa karena kerap merasa tak apa-apa saat melakukan dosa semacam gibah atau memaki liyan. Tapi kita mudah banget ingat kebaikan diri sendiri.

Apapun itu, semuanya akan berakhir. Susah senang di dunia akan berakhir pada suatu hari nanti. Orang-orang beragama mengharap balasan yang baik atas segala sesuatu yang dia kerjakan selama hidup. Orang-orang tidak beragama juga berharap memperoleh kebaikan.

Semuanya punya harapan; dan harapan itu selalu mengarah ke diri: berharap diri memperoleh kebaikan, dapat rezeki, diri dapat berkah, diri senang dan bahagia jauh dari susah dan sengsara, diri berharap masuk sorga dan bahkan diri berharap ridha — benang merahnya selalu sama: agar diri kita, ya si aku, memperoleh kesenangan, kebahagiaan atau kegembiraan lahir dan perasaan² batin di dunia dan akhirat (bagi yang percaya akhirat ada).

Saya jadi curiga, boleh jadi setingan dasar yang dibuat oleh Tuhan untuk hidup pada diri kita itu adalah setingan gembira dalam menjalani hidup, apapun bentuk dan masalahnya, terlepas dari ajaran agama apapun. Karena kita selalu mengejar hal-hal yang menggembirakan, menyenangkan.

Saya pernah bertanya soal ini pada seseorang yang sangat saya hormati dan menjadi panutan saya. Beliau memberi jawaban sederhana saja: kalau engkau bisa menemukan dan merasakan kegembiraan dalam hal apa saja, maka semua akan baik-baik saja sebab, jika bisa seperti itu, yang ada hanya alhamdulillah. Jadi hidup itu apa sih, tanyaku penasaran.

Dengan tertawa beliau menjawab kira-kira begini, Urip kui wis kadhung (terlanjur). Kamu tu sudah terlanjur hidup, terus mau apa? Wis kadhung urip kok ora gembira.

Kami yang mendengar tertawa.

— Aku wis kadhung urip.

Read my stories and other works at : https://karyakarsa.com/embahnyutz

Wayang — Bayang-Bayang

“Apakah engkau tak memperhatikan bagaimana Tuhan memanjangkan bayang-bayangNya?”

Tajalli dari Dzat kadang diistilahkan sebagai wujud idhofi, dinamakan juga bayangan.

Tuhan, dalam keabadianNya yang tak bisa kita jangkau, mengenal Diri-Nya sendiri sebagai keindahan, keagungan dan kesempurnaan abadi. Dia ingin dikenal. Agar Dia bisa merefleksikan Dirinya Sendiri, maka Dia menciptakan “cermin-cermin” yang beraneka ragam dari Dirinya Sendiri. Maka, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah merupakan cermin-cermin tersebut. Cermin yang baik adalah cermin yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi terang dan sisi gelap

Dalam hal ini manusia mempunyai sifat seperti cermin tersebut, karena manusiapun mempunyai dua sisi, yaitu qolbu sebagai sisi terang dan jasmani sebagai sisi gelap. Semakin terang qolbu, semakin jelas pula qolbu merefleksikan Tuhan, sesuai dengan Hadits Qudsi :

“Aku tidak bisa ditampung bumi maupun langit, tapi aku bisa berada dalam hati seorang mukmin yang benar”

“Di dalam setiap rongga anak Adam, Aku ciptakan suatu mahligai yang disebut dada, di dalam dada ada kolbu, di dalam kolbu ada fuad, di dalam fuad ada syagofa, di dalam syagofa ada sir, di dalam sir ada Aku tempat Aku menyimpan rahasia”

Setiap cermin tidak ambil bagian dalam pengamatan; cahaya yang terang benderang dan kegelapan cermin merupakan alat pengamatan. Walaupun cerminnya beraneka ragam, namun Wajah Sang Pengamat Tetap Satu. Bila kemudian cerminnya hancur luluh, Wajah Sang Pengamat Tetap Abadi.

Manusia adalah hanya “bayangan” dari Wujud. Yang namanya bayangan, ia sesungguhnya tak ada wujudnya meski pada saat yang sama tampak ada. Bayanganmu di cermin yang jernih tentu jelas kelihatan, tetapi bayanganmu tentu bukan wujud dirimu. Jika kau bergerak, pantulan bayanganmu pun ikut bergerak. Bayangan mengikuti gerak dari sumber bayangan.

Dalam bahasa Jawa, wayang adalah bayangan. Wayang bergerak bila digerakkan oleh dalang.

Dalang membuat wayang, menatah dan mengukir dan menghias, dan dalang pula yang menggerakkannya sesuai keinginannya.

“Dia yang menciptakanmu dan perbuatanmu.”

Wa Allahu a’lam
embahnyutz

Sepasang Mata

WAYAHE NGOPI 2 : Ilmu Dalam Mistisisme Islam

**Bukankah Kami telah memberinya sepasang mata?
— Quran 90:8

Syeh Ibn ‘Arabi menafsirkan bahwa ayat itu bermakna kita, manusia, sebenarnya dapat melihat sesuatu sebagaimana yang kita lihat di dunia dan melihat apa-apa yang ada di balik penampakan dunia. Itu juga berarti bahwa alih-alih hanya menggunakan satu jalan untuk memperoleh ilmu, kita seharusnya menggunakan jalan lain pula, yang disebut jalan kasyaf atau via bashiroh atau imajinasi kreatif, atau firasat atau jalan mistis. Kita mestinya menggunakan dua jalan itu secara bersama-sama, walau tentu sulit. Maka kiasan sepasang mata itu sungguh bagus sebab dua bola mata kita selalu bekerja bersama. Syeh Ibn ‘Arabi menyarankan agar kita mengembangkan cara pandang kita sedemikian rupa sehingga kita bisa mengetahui atau memperoleh ilmu dengan dua jalur tersebut.

Yang berlawanan dengan ini dinamakan Dajjal, makhluk seram yang digambarkan bermata satu yang akan muncul di akhir zaman. Syeh Ibn ‘Arabi menafsirkannya sebagai metafora untuk cara orang yang memandang dengan perspektif yang terbatas pada satu sisi pengetahuan saja (rasional-intelektual) sehingga terhijab dari sisi lain ilmu, yakni ilmu spiritual atau rohani yang diperoleh bukan melalui pikiran intelektual. Dajjal hanya bisa dikalahkan oleh Muslim. Ini melambangkan bahwa pada akhirnya pemikiran intelektual belaka akan dikalahkan oleh orang yang sudah terbuka (futuh) wawasan intelektual dan rohaninya sehingga memperoleh atau menguasai dua macam pengetahuan: intelektual-rasional dan spiritual, lahir dan batin, atau tekstual dan mistis. Selama seseorang memahami agama hanya melalui akal rasional saja, ia masih terikat pada “sistem dajjal,” sehingga pengetahuannya kerap tidak bermanfaat — misal tahu mencuri haram namun tetap korupsi, tahu mencaci-maki untuk menghina itu dilarang, namun tetap memaki-maki, tahu provokasi dan hasut dilarang, namun tetap melakukan hasutan dan provokasi kasar baik secara terang-terangan maupun diam-diam.

Dengan demikian, dalam Islam dikatakan menuntut ilmu itu wajib, yakni ilmu lahir dan batin, sebab Muslim mestinya membaca ayat-ayat Allah dengan dua cara: yadzkurunallah dan yatafakkarun (Ali Imran 190-191), yaitu zikir dan pikir. Zikir adalah salah satu sarana memperoleh pengetahuan rohani, pengetahuan mistis, dan pikir adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang bermanfaat lainnya, seperti logika, ushul fikih, fikih, linguistik, tafsir, filsafat, sains dan teknologi, ekonomi-bisnis, sosiologi, politik, budaya, seni, sampai ilmu kuliner dan humor. Bila dua jalan itu digunakan bersama-sama, maka bahkan pikir akan menyatu dengan zikir, sehingga terbukalah lapisan rohani yang lebih dalam, di mana dikotomi lahir-batin lenyap, dan bahkan dikotomi apapun juga lebur dalam satu perspektif yang utuh: Tauhid, gagasan dasar yang menyatakan bahwa segala-galanya berasal dari Yang Maha Esa dan akan kembali ke Yang Maha Esa, di mana hanya ada Kesatuan tanpa keragaman sebab hanya Tuhanlah wujud yang hakiki dan sejati itu.

Wa Allahu a’lam
#embahnyutz



“Buku Wayahe Ngopi 2; Ilmu dalam Mistisisme Islam – bisa dipesan via olshop DIVA Press” Rp52.000 (selama masa pre-order s/d 15 Februari 2022) di toko Diva Press Group Tokopedia. Link:

https://tokopedia.link/AJqJdD9Frnb

Mata Air Kerinduan

Adalah menyenangkan, sekaligus mengharukan, bahwa dalam perjalanan hidup ini, walaupun kita berangkat dari tempat dan waktu yang berbeda, kita terkadang bertemu dengan jalan hidup orang lain dengan berbagi cinta, pengetahuan dan harapan. Dan “Pertemuan” semacam ini tak pernah merupakan sebuah kebetulan. Cobalah engkau bertanya pada diri sendiri, siapa yang menggerakkan dirimu hingga bertemu dengan orang yang asing yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, lalu entah bagaimana perjumpaan itu begitu mengesankan sehingga kita ingin mengulanginya berkali-kali. Orang-orang bisa akrab dalam arti sesungguhnya ketika mereka hidup demi tujuan yang serupa, yakni “kebahagiaan,” dengan cara yang sama, meski perwujudannya berbeda-beda. Tetapi ada banyak gagasan berbeda tentang kebahagiaan. Apa yang dimaksud di sini?

Menurut sebagian Sufi, pada hakikatnya hanya Allah yang tahu cara agar manusia mendapatkan kebahagiaan, yang Dia isyaratkan melalui perintah dan larangan-Nya. Tetapi sering kita lalai karena satu dan lain hal, sehingga manusia diperintahkan untuk selalu selalu belajar ayat-ayat Tuhan yang ada di muka bumi dan di dalam dirinya sendiri, agar mengerti dan mengalami langsung apa yang dimaksud kebahagiaan menurut Allah, bukan menurut keinginan nafsu atau ego.Tentu saja, selama hidup di dunia, setiap orang juga mengalami penderitaan yang berbeda-beda. Ada yang kehilangan kekasih, putus cinta, kehilangan pekerjaan, tersiksa oleh tekanan hidup, sakit, terluka batin, stres, dan sebagainya. Ada yang harus berjuang untuk tetap sederhana dan rendah hati karena hidupnya berkelimpahan harta, tetapi ada juga yang harus bekerja keras setiap hari demi sesuap nasi hari ini. Betapa bervariasinya hidup dan tantangannya, sehingga semestinya kita tak boleh lekas-lekas menghakimi orang lain, sebab, walau semua orang masih bisa tersenyum, seringkali ada masalah dan luka di balik senyum itu.

Orang beriman pada umumnya, dan Sufi pada khususnya, menempuh hidup dengan langkah sederhana: hidup berusaha menempuh jalan yang lurus hingga bisa menerima sepenuh hati apapun yang datang dari Allah dan percaya sepenuhnya kepada Kasih-SayangNya. Adalah benar “cara” kita menempuh “jalan lurus” ini berbeda-beda — titik awal keberangkatan yang berbeda, kecepatan langkah yang berbeda, gangguan dan cobaan yang berbeda — namun tujuan dari perjalanan ini akan membawa kita pada jalan yang sama: jalan kebahagiaan sejati, yang adalah manifestasi dari ridho-Nya: “Wahai orang-orang beriman, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, dan masuklah ke SurgaKu.” Dalam konteks inilah kita, dalam mencari kebahagiaan, kita menjadi sama: menjadi hamba dan manusia.

Sebaliknya, jika memilih jalan yang dilarang – keserakahan, dusta, egoisme dan sebagainya — kita akan menjadi sosok yang berbeda karena tujuan kita hakikatnya tidak sama: dalam jalan penderitaan, kita mengejar hal-hal yang berbeda dari yang dikejar orang lain. Misal, jika tujuan kita hanya demi mengumpulkan harta dan kekuasaan, maka kita akan bersaing dengan orang lain sebagai sosok yang menuhankan keinginan pribadi: kita menciptakan berhala dalam diri sendiri, hingga seakan-akan menjadi Tuhan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Karena masing-masing orang ingin menjadi Tuhan atas dirinya sendiri dan orang lain, maka tujuan hidup mereka menjadi berbeda dan menimbulkan krisis relasi yang pada titik tertentu melahirkan pertengkaran dan bahkan kekacauan, baik chaos sosial maupun kekacauan pada jiwa atau rohani manusia. Kalau orang-orang menempuh tujuan yang sama, yakni Allah Yang Maha Tinggi, maka pada akhirnya Dialah yang Maha Rahman dan Rahim yang akan menyatukan kita. Tanpa kasih sayang dan ridho-Nya, mustahil bisa menyatukan dua hati, apalagi banyak hati. Maka kebahagiaan, bagi penempuh jalan rohani bukanlah konsep ini dan itu, tetapi sebuah pengalaman “kebersamaan dengan, dan di dalam, Yang Ilahi” dalam setiap keadaan, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.

Misalnya, Kanjeng Rasulullah, dilihat dari sisi manusiawi, adalah manusia yang paling banyak penderitaannya — ditinggal ayah ibu sejak kecil, dianiaya di kampung halaman, terusir dari kampung halaman, harus mengangkat senjata, harus serba repot melayani dan membimbing umat, hidup dalam kemiskinan, dan seterusnya. Tetapi, dengan segala kesulitan hidup itu, apakah beliau tidak bahagia? Jika kita hanya memandang dari segi duniawi serta kepentingan pribadi dan ego, niscaya kita akan menganggap beliau adalah orang yang tidak bahagia. Namun jika kita melihat dari “rasa” dan kesadaran pada tujuan yang sama (yakni ridho Allah) maka akan lahir perasaan yang ganjil: kita merasakan kasih-sayang kanjeng Nabi Muhammad meski belum pernah bertemu dan terpisah jarak dan waktu ribuan tahun — dan bagaimana mungkin orang yang tidak berlimpah kebahagiaan bisa memancarkan kasih sayang demikian besar ke begitu banyak manusia hingga melampaui ruang dan waktu, dan bahkan sebagian orang bisa masuk ke dalam kerinduan yang tak terperi kepada Kanjeng Nabi.

Kebahagiaan, dalam pengertian ini, adalah rahasia yang tak terpemanai oleh pikiran dan kerja mental. Dan orang-orang yang sama-sama mencari kebahagiaan dalam naungan ridho Ilahi akan mendapatkan percikan kerinduan ruhani semacam ini, yang pada mulanya dalam bentuk rindu pada teman-teman seperjalanan. Kerinduan pada sahabat-sahabat yang sama-sama ingin kembali dengan ridha dan diridhaiNya adalah refleksi dari kerinduan pada penghulu insan yang paling diridhai dan dicintaiNya: sayyidina al-musthofa wa maulana Rasulullah Muhammad SAW. Tak heran jika ulama-ulama arif billah menasihati kita agar terus memperbesar kecintaan kepada kanjeng Nabi, dengan banyak membaca shalawat dan mentaatinya, sebab dari situlah salah satu sumber terbesar mata air kerinduan dan kasih sayang dan Cinta kepada sesama manusia, kepada Nabi, dan akhirnya, kepada Allah Yang Maha Agung. Wa Allahu a’lam

embahnyutz

ADVERTISING
Buku “Akulah Debu di Jalan al-Musthofa dapat dipesan via link

https://www.tokopedia.com/misykat-online

Pemberi dan Pencari Nasihat

PEMBERI NASIHAT

ia punya ratusan — atau mungkin ribuan — stok nasihat. Ia ingin berbagi kebijaksanaan kepada sebanyak mungkin orang. Ia percaya orang-orang bermasalah itu butuh nasihat. Maka ia mencari-cari orang bermasalah, atau mempromosikan kebijaksanaan dari buku-buku yang ia baca, agar orang-orang bermasalah membacanya atau mendengarnya lalu mendatanginya untuk meminta nasihat. Demikianlah setiap hari ia memberi nasihat dan merasa senang karena bisa berbagi kebijaksanaan. Tetapi tak setiap hari orang bermasalah, juga tak setiap hari orang bermasalah mendatanginya. Lama-lama ia mulai resah karena khawatir tak lagi bisa berbagi. Bukankah menasihati adalah kebaikan? Ia tak ingin kehilangan pahala dari amal menasihati ini. Maka ia mulai melihat orang dengan cara lain: menyelisik kekurangan dan kekeliruan orang lain. Pelan tapi pasti ia pandai melihat banyak kesalahan pada diri orang, pada keadaan, hingga ia mulai yakin bahwa dunia bermasalah, semua orang punya masalah, dan ia senang karena kini ia merasa bisa memberi nasihat, entah diminta atau tidak, hingga ia tiba pada titik di mana engkau boleh menyebutnya sebagai “kecanduan menasihati.” Setiap hari ia ke sana ke mari memberi nasihat, menulis banyak nasihat di blog, status jejaring sosial, bahkan berpetuah dalam obrolan di warung, kedai kopi, di tengah resepsi pengantin — bertahun-tahun ia bertindak demikian, sampai ia lupa menasihati diri sendiri, dan menjadi jengkel dan marah bila dinasihati

PENCARI NASIHAT

entah sudah berapa lembar nasihat ia singkirkan. Ia enggan membukanya. Semuanya tak sesuai dengan harapannya. Oh tidak. Ia tak butuh nasihat sebenarnya. Ia hanya mencari ‘nasihat’ yang cocok dengan keinginannya. Mungkin apa yang ia cari itu lebih tepat disebut: mencari justifikasi dari orang lain. Agar ia punya alasan untuk tetap bersikukuh memegang keyakinannya yang sudah rapuh sejak awal. Ia berkeliling ke sana ke mari mencari orang-orang yang bisa memberinya nasihat tepat sesuai yang diinginkannya. Pendeknya, ia hanya mau mendengar apa yang ingin dia dengar.

Review Wayahe Ngopi from IG

Engkau jalan, engkau pun tujuan.

Hati-hati, jangan sampai engkau kehilangan jalan menuju dirimu sendiri.”

Syeh Suhrawardi al-Maqtul.

📝 

Re-read, lagi-lagi buku ini akhirnya dibaca dua kali.  Selain karena pembahasannya yang ‘dalem’, juga banyak kata-kata yang bikin kita makin ngerasa banyak benernya juga.

📝 Buku ini ditulis untuk kita biar lebih mengenal diri makna menjadi hamba dan manusia. Yang lagi mempersiapkan pulang. Dibuka dengan bab tentang Literasi Rohani, uda langsung mengena sampek ke ulu hati, kalau ternyata memang bener ya, sebenernya kita berliterasi untuk apa, kalau ujung-ujungnya menyalahi agama.

Contohnya waktu lagi baca Quran, apa kita bener-bener baca quran karena Allah, atau diam-diam ingin pamer, atau juga diam-diam ingin menganggap diri ini alim? Karena ternyata, memang iya, apapun yang kita baca, apapun yang kita pelajari, dan lagi berusaha memahaminya, kalau kita gak nyertain aspek ilahiah nya, bisa ngerusak aspek rohani.

📝Ada beberapa bagian yang aku garis bawahi, karena memang sesuai sama kita-kita, salah satunya di bab tentang Apa yang Engkau Pikirkan dan Rasakan? Di halaman 179 dibahas tentang manusia yang terus lalai sama Tuhan, maka ia berisiko jatuh pada summun bukmun umyun; diri sendiri gak bisa melihat dan mendengar kebaikan dari Allah.

📝Dan ya, bagian ini kita diajak untuk mengingat, selama kita beraktivitas, sebenernya kita selalu mencampuradukkan yang haq dan yang bathil, kah? Ditegur lagi-lagi lewat tulisan ini, kalau makin sering kita mencampur keduanya, bakalan makin samar batasan-batasannya. Paham?

Jelas lah ya bakalan makin samar, kita bakalan makin gak tau mana yang bener, dan mana yang dilakukan berdasarkan hawa nafsunya. Naudzubillah min dzalik.

📝So weee, pertahanin temen-temen yang sering ngingatkan ketaatan sama kita, yang gak cuma mikirin dunia, yang selalu menomor satukan ibadah daripada yang gak berfaedah. InsyaAllah, perjalanan menuju pulang, bakalan lebih siap. Aamiin.

Yang nyari buku religi, buku ini pas kali ya dibaca. Bacaannya santai, banyak dalil, dan tulisannya penuh kehati-hatian, biar lebih ngena ke kita.

#wayahengopi#reviewbuku
Sumber IG:
https://www.instagram.com/p/CUumeq3pKMV/…

Kalau mau beli bisa via link ini:
https://tokopedia.link/9YJ7mSW89jb

Mbah Kholil, Mbah Hasyim Asy’ari dan Nabi Khidir

Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari

Dalam khazanah Tasawuf, pelajaran rohani dari para Wali Allah tidak hanya melalui verbal, kajian kitab dan kajian intelektual, tetapi juga melalui “cara” lain yang tak terduga dan “mind-blowing,” karena bersifat misteri dan agak susah dipahami pikiran. Metodenya pun seolah terkesan tidak mengedepankan intelektualitas, namun menghasilkan pribadi yang berintelektualitas tinggi dan tercerahkan. Salah satu dari sekian jalur pendidikan rohani adalah melalui khidmat dengan adab yang berkaitan dengan pendidikan akhlak. Sebenarnya ini bisa dipahami, setidaknya di permukaan, karena wilayah rohani itu melampaui batas-batas kemampuan pikiran, sebagai salah satu isyarat bahwa ilmu Allah itu tiada batas dan tak selalu bisa dicerap oleh persepsi akal.

Tasawuf adalah ilmu akhlak, baik akhlak lahir maupun akhlak batin. Pada sisi batin, ia berkaitan dengan dunia keilahian, roh dan kekudusan. Relasi-relasi di dunia rohani ini memiliki kualitas dan karakteristik khas yang berkaitan dengan seberapa mendalam kita mengenal diri kita yang sesungguhnya. Semakin jelas kita kenal diri, semakin jelas pula Tuhan memperkenalkan DiriNya kepada kita. Ketika mata hati telah mengenalNya, maka ia mengenal, bertemu, mengetahui dan menyaksikan apa-apa yang tidak dapat dikenal, ditemui, diketahui dan disaksikan oleh mata lahir dan mata pikiran. Kisah di bawah ini adalah salah satu ilustrasi dari proses transfer keilmuan yang “mind-blowing.”

Cerita ini disadur dari buku “Ngopi di Pesantren, Renungan dan Kisah Inspiratif Kiai dan Santri”, diterbitkan oleh “TeTES Publishing”, Balongjeruk, Kunjar, Kediri, Jawa Timur.

————————
Kala itu, Kabupaten Bangkalan diguyur hujan yang sangat deras, khususnya di Demangan, pondok pesantren asuhan Syaikhuna Kholil al-Bangkalani. Meski hujan mengguyur dengan derasnya, tetapi ada saja orang yang bertamu kepada beliau.

Terlihat di antara rerintik hujan yang semakin deras, seorang tua lumpuh dengan susah payah hendak berkunjung menemui Syaikhuna Kholil. Syaikhuna segera tanggap, beliau lalu memerintahkan santrinya untuk menyusul. “Adakah di antara kalian yang mau menggendong dan membawa tamuku di luar sana itu?” “Biar saya saja, Yai,” jawab seorang santri muda mendahului teman-temannya.

Santri muda itu bergegas meloncat menembus rerintik hujan yang semakin deras, menghampiri orang tua itu. Tanpa pikir panjang, ia menggendongnya untuk menemui Syaikhuna Kholil.

Dengan sangat akrab, Syaikhuna Kholil menyambut tamunya, dan di antara keduanya terjadi dialog empat mata. Tidak beberapa lama, rupanya percakapan mereka telah usai. Syaikhuna Kholil mendatangi santri-santrinya untuk meminta bantuan lagi, “Siapakah di antara kalian yang mau membantu orang tua ini untuk kembali pulang?” “Biar saya Yai,” sahut santri yang tadi menggendong orang tua tersebut. lalu santri muda itu dengan penuh rasa takzim menggendongnya keluar pondok pesantren dengan hati-hati sesuai perintah Syaikhuna Kholil.

Setelah santri dan tamu tua itu keluar dari kawasan pesantren, Syaikhuna Kholil berkata kepada santri-santrinya yang lain, “Santri-santriku, saksikanlah bahwa ilmuku telah dibawa santri itu.” Dan ternyata yang digendong oleh santri tersebut adalah Nabiyullah Khidir ‘alahis salam yang bersilaturahmi kepada Syaikhona Kholil dan santri yang menggendongnya adalah Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari muda (Pediri Nahdlatul Ulama), yang kemudian mewarisi keilmuan Syaikhuna Kholil al-Bangkalani.

•••●•••
/ Ads /
Kisah-kisah kewalian dan penjelasan hirarki dan jenis-jenis kewalian dapat dibaca melalui buku ini: 📕 Akulah Debu di Jalan al-Musthofa : Jejak Auliya Allah | yang berminat bisa beli di sini:
https://tokopedia.link/P7BDJRwP0ib di toko Misykat Online Rp135.000 di Tokopedia

Hidup berjalan seperti bajingan

BUN, HIDUP BERJALAN SEPERTI BAJINGAN …

— dari “Bertaut”, Nadin Amizah

Sepertinya satu-satunya lagu generasi Z yang muncul tahun lalu dan menarik perhatianku adalah lagu Nadine. Sebenarnya aku mengenal sosoknya sebelum kenal lagunya, karena dia adalah putri kawanku, yang saya kenal beberapa tahun lalu melalui lingkar pertemanan di medsos dan tak jarang bertemu dengan beliau ngobrol apa saja di tempat kami nongkrong di Kapitikan — aku memanggilnya Pa’Raja, seorang pengusaha tembakau di Wonosobo.

Lagu pertama yang membuatku suka adalah Beranjak Dewasa. Beberapa lagunya memang mengingatkan pada banyak hal.

Kau tahu, lagu atau musik sebenarnya tak memasukkan sesuatu ke dalam dirimu, namun membangkitkan apa-apa yang tersimpan atau yang mengendap jauh dalam jiwa karena kau berusaha melupakannya. Kadang engkau ingat sesuatu ketika mendengar suatu lagu karena lagu itu membangkitkan memori atau kenangan pengalaman masa lalu yang membekas di hati.

Beberapa lirik dan nada pada lagu Nadine berhasil membuatku mengingat banyak momen dan peristiwa, seperti melemparkanku ke situasi di mana masa lalu menjadi begitu dekat, seakan kualami hari ini, saat ini. Lalu ada semacam insight di mana makna dari hal-hal yang pernah membekas di hati menjadi jelas maknanya, bagi diri sendiri tentu saja.

Barangkali itu sebabnya, sebagian orang yang menempuh jalan kerohanian amat menyukai lagu, musik, atau puisi — karena potensinya membawa jiwa manusia ke situasi yang melepaskannya dari batasan waktu. Terutama musik, karena suara adalah sesuatu yang tak berbentuk material, namun ada dan hadir dan getarannya bisa memengaruhi suasana hati. Demikian pula puisi — pemilihan kata yang tak lazim dapat mengguncangkan pikiran sehingga sering pikiran seakan berhenti, dan pada momen itulah makna dari kata menjadi dirasakan dan dipahami oleh hati — sebab pikiran memang tak bisa merasakan kelembutan-kelembutan tertentu, termasuk kelembutan ilahiah yang disertakan Tuhan dalam bentuk-bentuk duniawi.

Itu sebabnya orang akan memaknai dan merasakan fenomena dengan cara berbeda-beda. Pada musik dan lagu, kekuatannya untuk meruntuhkan bangunan ilmu dan pikiran lebih kuat, sehingga banyak pejalan rohani menyukai musik karena musik bisa membawa perasaan seseorang turun jauh ke dalam rahasia tertentu (sirr) yang bisa dirasakan oleh hati namun tak dipahami pikiran.

Selera musik, hasrat, dan cara memaknainya akan bergantung pada keadaan hati dan pikiran. Itu sebabnya kadang orang bisa berubah kesukaannya pada musik, atau bertambah jenis musik yang disukainya karena hati atau jiwanya mengalami perubahan seiring waktu dan pengalaman lahir batinnya. Dulu aku hanya suka lagu rock misalnya. Kini, kesukaan pada rock masih, namun kini aku bisa menikmati jenis musik lain — tanpa penghakiman, ya menikmati saja, merasakan hal-hal yang indah dan menentramkan yang tak bisa dibagikan ke orang lain karena rasa dan perasaan itu dalam situasi khusus adalah momen yang amat privat dan tak mungkin direpresentasikan melalui pikiran.

Pada akhirnya, orang akan menemukan apa yang dicari ketika ia menghayati pencariannya. Ketika engkau beranjak dewasa, pelan-pelan engkau akan tahu apa yang sebenarnya perlu dicari dalam hidup yang sebentar. Dan Lirik sederhana yang ini mengingatkanku pada banyak hal tentang usia, kedewasaan dan pencarian:

Pada akhirnya ini semua
Hanyalah permulaan
Pada akhirnya kami semua
Berkawan dengan sebentar

Berbaring tersentak tertawa
Tertawa dengan air mata
Mengingat bodohnya dunia
Dan kita yang masih saja
Berusaha

Kita beranjak dewasa
Jauh terburu seharusnya
Bagai bintang yang jatuh
Jauh terburu waktu
Mati lebih cepat
Mati lebih cepat

— Beranjak Dewasa, by Nadin A. 

Melihat Luar untuk Melihat ke Dalam

Semalam hujan. Sisa cipratannya ngumpul di daun keladi yang kutanam di teras rumah. Seperti kejadian alami saja — namun kadang-kadang yang tampak biasa menjadi sesuatu yang menenangkan dan agak mistis saat kita melihatnya tanpa memakai segala bentuk penilaian, hanya menggunakan rasa.

Guru kami pernah mengatakan bahwa “rasa” yang amat dalam, bukan emosi atau kondisi mental, adalah semacam radar yang menangkap sinyal pengetahuan yang tak bisa ditangkap oleh pikiran. Dalam muraqabah, misalnya, yang dibaratkan seperti “kucing yang diam tapi awas di depan liang tikus,” rasa akan menangkap sinyal itu tiap kali ia datang. Sinyal adalah ibarat tajalli Tuhan. Dan karena tajalli-Nya itu dari momen ke momen tanpa jeda (yakni, dalam Quran disebtkan, Allah setiap momen [saat] selalu dalam kesibukan) maka rasa yang telah jernih akan melihat dan memahami kesibukan-Nya dan karenanya “ke manapun memandang, di situ ‘Wajah Allah.'”

Orang modern kadang memahami muraqabah sebagai semacam meditasi. Boleh saja dipahami demikian namun dalam mistisisme Islam, meditasi itu berbeda — secara konseptual mungkin seperti mencari ketenangan batin, namun secara hakiki, muraqabah bergandengan muhasabah; hasilnya adalah sebuah perjalanan yang tak usai-usai karena fokusnya bukan pada ketenangan diri. Selama masih mencari ketenangan, ia berarti belum tenang. Tetapi kondisi tenang atau muthmainah memang harus dicari, tetapi tidak dengan mengandalkan kemampuan diri, sebab diri kita ini aslinya ga ada. Kita ada karena diadakan atau diciptakan. Bagaimana mungkin kita mengandalkan sesuatu yang tidak ada? Maka ajaran sufi kadang membingungkan pikiran, sebab fokusnya memang bukan untuk mendidik pikiran. Ia mendidik “hati”, tempat Tuhan meletakkan “rasa rohani” yang melampaui ruang dan waktu.

Orang yang sampai ke kedalaman diri, akan memahami ayat “dalam penciptaan langit dan bumi …” dan seterusnya, sampe “tidak ada penciptaan Tuhan yang sia-sia” dengan cara berbeda. Dalam ayat itu disebut ulil albab – albab adalah variasi dari istilah lubb. Dalam hadis qudsi yang sering dikutip Sufi, lubb adalah bagian dari batin yang paling dekat dengan sirr, petikannya :” … dan di dalam lubb ada sirr; dan di dalam sirr ada Aku.” Sedangkan sirr adalah rahasia yaitu manusia itu rahasia Tuhan dan Tuhan adalah rahasia manusia (al insan sirri wa ana sirrhu). Rahasia menurut satu pendapat berasal dari kata rahsa, dan rahsa adalah padanan dari sirri. Seperti dalam kitab jawa, terjemahan al insan sirri wa ana sirrhu adalah sejatine menungsa iku rahsa-ningsun, lan Ingsun (Allah) iku rahsa-ning menungsa.

Karena sifatnya yang seperti itu, pengetahuan rasa dan epistemologi rasa selalu bersifat tersembunyi, karena ia bagian dari misteri kehidupan yang sesungguhnya (sejatining urip). Maka apapun pengetahuan dari rasa selalu tampak kabur atau samar bagi pikiran, seperti semu. Orang jawa sering menggunakan “pasemon” untuk mengabarkan sasmita atau tanda/ayat Tuhan yang dimengerti oleh rasa. Itu sebabnya orang yang ingin mengenal diri biasanya lebih cenderung laku olah rasa, ketimbang menyusun penjelasan makna dalam bangunan kata-kata yang menjadi wilayah pikiran. Saat orang mengenal rasa diri yang sesungguhnya ia akan dipertemukan oleh Tuhan dengan siapa sesungguhnya dirinya sendiri, dan melalui pengenalan diri yang sesungguhnya, Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Wa Allahu a’lam.

RAMAPARASU

The path of the Warrior is lifelong, and mastery is often simply staying on the path.

Dunia ksatria adalah dunia politik dan peperangan. Ksatria — entah dalam makna baik atau buruk — termasuk para raja dan senapati perang, berada dalam situasi sulit. Mereka bisa kalah dan menang kapan saja. Mereka bersiasat, entah dengan kecerdikan atau kelicikan, dan tak jarang mengorbankan banyak orang. Kesetiaan, pengorbanan, kemuliaan, juga kebencian, penghinaan, amarah hingga darah terus mengalir dalam dunia ksatria, menyeret-nyeret kasta brahmana, waisya, hingga kasta sudra. Dunia ksatria adalah dunia ironi: untuk menjaga perdamaian, mereka harus selalu siap berperang.Dunia seakan ditakdirkan selalu demikian. Satu ksatria hilang muncul ribuan lagi. Melalui tangan-tangan mereka Sang Hyang Wenang menata pergolakan dunia.

Tak ada kemenangan abadi, pun tak ada kekalahan abadi. Sebagian yang muak memilih atau dipaksa menyepi, menjaga keseimbangan dengan cara-cara yang tak kelihatan — para Resi, Brahmana dan Pendeta. Namun dalam diri para resi pun terjadi pergolakan, terutama ketika mereka diseret atau terseret dalam pertarungan kekuasaan: Resi Gotama, Resi Wisrawa, Resi Jamadagni, Resi Suwandagni, dan seterusnya. Hingga suatu ketika kelakuan para ksatria nyaris tak terkendali. Korban berjatuhan tiada henti. Seorang ksatria berdarah brahmana tak sabar lagi. Ia mengangkat kapak besarnya, seakan berteriak “kesuweeen lek, qulhu ae!” lalu ia bersumpah menghabisi semua para ksatria di muka bumi, agar tercipta perdamaian.

9Dia adalah Ramaparasu, yang tak akan mati kecuali di tangan titisan Wisnu.Konon tiga kali keliling dunia demi sumpahnya. Dunia ksatria menjadi muram dan menakutkan. Para raja dan senapati hidup dalam kecemasan. Tetapi ksatria selalu ada dan bermunculan hampir setiap hari, hingga ia pun bertanya-tanya: apa maunya Sang Hyang Wenang dengan menggelar pertarungan wayang-wayang-Nya di muka bumi melalui ksatria yang terus ditumbuhkan-Nya? Ramaparasu lelah, lalu mencari mati: ia mengejar titisan Dewa Wisnu, Prabu Arjunasasrabahu, untuk mencari jawaban sebelum mati. Yang terjadi mengecewakan dirinya: Arjunasasrabahu tewas ditangannya. Ramaparasu merasa menang tetapi sekaligus kalah, hingga ia diberi tahu dirinyalah titisan Wisnu pada masanya. Ramaparasu kecewa besar merasa dibodohi Wisnu. Hingga ia akhirnya bertemu dengan “dirinya sendiri” dan diberi tahu bahwa “Tarian Syiwa tak akan berhenti, tarian kehancuran dan pembangunan, tarian kematian dan kehidupan.” Ramaparasu tercerahkan, Wisnu pun keluar dan menitis ke Prabu Ramawijaya. Ramaparasu, tokoh tragis yang belajar arti menang dan kalah dalam pagelaran jagat raya, kini memandang dunia dengan cara berbeda… Mereka yang kalah hanya kalah pada saat ia ditentukan kalah.

Kekalahan dan kemenangan menjadi tak berarti bagi Ramaparasu setelah ia memahami, melalui penderitaannya, bahwa yang penting di balik jatuh-bangunnya seseorang adalah apakah ia mampu mengambil pelajaran dari pengalamannya, sebab Sang Hyang Wenang sering menyelipkan pertolongan-Nya dalam penderitaan, termasuk dalam kekalahan yang menyakitkan. Tetapi jika seseorang tak mau belajar, maka ia akan bernasib seperti Rahwana, yang mengejar 4 titisan istri Wisnu dengan angkara murkanya yang tiada pernah surut.

.Setiap orang adalah Ramaparasu bila ia menghayati bahwa jalan pulang sesungguhnya perjalanan ke dalam diri sendiri, yakni pulang ke tempat yang telah ditentukan oleh Tuhan untuk mengenali Tuhan itu sendiri. Setiap orang adalah Ramaparasu ketika ia telah melangkah di jalan itu dan mengalami ribuan pertempuran, besar dan kecil, di dalam dirinya sendiri, sampai ia melihat apa hakikat benar dan salah, baik dan buruk, menang dan kalah, siang dan malam, pria dan wanita, suka dan duka, gembira dan sedih, senang dan susah, dan segala perbedaa-perbedaan di dunia. Setiap orang akan menjadi Ramaparasu sesuai kondisi hatinya bila ia ikhlas menjalankan takdir. Sesorang yang menjadi Ramaparasu pada awal dan akhir, akan mampu mengalahkan dewa-dewa, melukai Siwa, berakrab dengan Wisnu, berbincang dengan Brahma, dan mengubah semesta yang ada di dalam dirinya sendiri, hingga ia mengabadi bersama sang Hyang Wenang.

Rangkaian kisah Ramaparasi, Arjuna Wiwaha dan Babad Lokapala yang dimuat dalam novel ini adalah kisah tentang orang-orang yang mengejawantahkan Sastra Jendra yang misterius ke dalam laku dunia, dalam buwana yang digelar oleh Maha Dalang, berdasarkan takdir masing-masing. Karena itu, kisah-kisah wayang kerap diistilahkan sebagai “pagelaran” karena kisah-kisah itu adalah pantulan dari bagaimana Tuhan menggelar ejawantah atau tajalli atau manifestasi khazanah tersembunyi Diri-Nya dalam segala ciptaan, dari yang gaib hingga lahir. Siapa saja yang bisa membaca pagelaran ini ia akan memperoleh penglihatan yang tajam dan pemahaman hakiki tentang kehidupan.

Dalam pertunjukan wayang kulit di masa lalu selalu digelar dari malam sampai dini hari, ketika cahaya fajar pertama mulai menyingsing. — yakni situasi gelap ke situasi “byar”, padhang atau terang, “Padhang Byar” adalah istilah ketika orang jawa melihat cahaya setelah beberapa waktu berada dalam situasi gelap, seperti ketika engkau baru membuka mata setelah tidur, atau baru keluar dari gue gelap. Dalam ajaran mistisisme Islam, Cahaya pertama yang menyebabkan khazanah-Nya menjadi padhang byar sehingga terlihat, dan dikenal, adalah cahaya nabi, atau Nur Muhammad, Logos, sebagai akar atau asas dari segala penciptaan. Aku menyaksikan Diri-Ku sendiri beserta seluruh khazanah indah dan mulia yang tersembunyi (kanz makhfiyan), dan Aku pun rindu untuk dikenal — maka Kuciptakanlah dunia.Kerinduan berasal dari Cinta. Maka dikatakan “puncak dari ‘diin’ (agama) adalah Cinta.” Ketika seseorang memahami apa yang ada di balik manifestasi pertentangan-pertentangan, lalu mengatasi pertentangan-pertentangan itu, ia akan menjadi Ramaparasu yang telah “berdamai dengan dirinya sendiri” yakni menyatukan antara diri dengan Diri (dengan D besar), sebab, seperti sabda kanjeng Nabi, “orang akan selalu bersama dengan yang dicintainya.”

Kisah Ramaparasu membuatku terkesan, karena di dalamnya memuat beberapa pelajaran hidup, terutama di bagian Sastra Jendra. Dan karenanya, aku mencoba menuliskannya dalam bentuk novel, dengan sedikit modifikasi mellaui pemilihan selektif versi India dengan versi Jawa, yang juga memiliki beberapa varian. Tentu saja, karena ini fiksi, maka aku bebas memasukkan gagasan-gagasan mistis atau spiritual ke dalam kisah-kisahnya menurut versiku sendiri. Yang tertarik bisa pesan via market place pada link di bawah ini:

https://tokopedia.link/05bzvkAOscb

NOVEL SUMPAH RAMPARASU | IDR 70K