Hidup adalah …

Dulu saya, dan mungkin sebagian dari kalian, pernah merenung atau mengkaji hidup kita — setidaknya secara sambil lalu. Kita melihat hidup yang kita jalani dari beragam sudut pandang. Sering kita sedih, senang, dikecewakan dan mengecewakan orang, berbohong dan dibohongi orang, pamer ini itu, senang julid dan gibah, disakiti dan balas menyakiti liyan, kadang terpicu untuk memaki orang atau keadaan, bertengkar, marah-marah di medsos, benci, kangen, fall in love with people we can’t have, ditinggal pas sayang-sayangnya, kadang (atau sering) ya sambat juga, dan seterusnya. Kita menjalani itu semua sering tanpa berpikir salah dan benar, dosa atau tidak — bahkan kita bisa menipu diri supaya tidak merasa salah/berdosa dengan mengubah mindset. Misal: Gibah dimaknai sebagai mereview atau profiling kepribadian orang lain. 😁

Atau kita bisa menciptakan banyak alasan untuk membenarkan tindakan dan perasaan kita, tak benar-benar peduli tindakan itu memang benar atau salah. Mungkin saja terlintas rasa bersalah saat melakukan sesuayu, tapi kita pandai sekali mengabaikan perasaan bersalah yang terasa kecil itu. Dan karenanya, dengan begitu banyak dosa dan kesalahan, kita tetap bisa tertawa dan gembira karena sebagian besar keburukan kita memang ditutup oleh Allah SWT. Lalu kita merasa semuanya akan baik-baik saja.

Semua perbuatan dan perasaan² negatif dan positif akan berlalu. Sebagian besar kita lupa. Lebih sering kita lupa kesalahan/dosa karena kerap merasa tak apa-apa saat melakukan dosa semacam gibah atau memaki liyan. Tapi kita mudah banget ingat kebaikan diri sendiri.

Apapun itu, semuanya akan berakhir. Susah senang di dunia akan berakhir pada suatu hari nanti. Orang-orang beragama mengharap balasan yang baik atas segala sesuatu yang dia kerjakan selama hidup. Orang-orang tidak beragama juga berharap memperoleh kebaikan.

Semuanya punya harapan; dan harapan itu selalu mengarah ke diri: berharap diri memperoleh kebaikan, dapat rezeki, diri dapat berkah, diri senang dan bahagia jauh dari susah dan sengsara, diri berharap masuk sorga dan bahkan diri berharap ridha — benang merahnya selalu sama: agar diri kita, ya si aku, memperoleh kesenangan, kebahagiaan atau kegembiraan lahir dan perasaan² batin di dunia dan akhirat (bagi yang percaya akhirat ada).

Saya jadi curiga, boleh jadi setingan dasar yang dibuat oleh Tuhan untuk hidup pada diri kita itu adalah setingan gembira dalam menjalani hidup, apapun bentuk dan masalahnya, terlepas dari ajaran agama apapun. Karena kita selalu mengejar hal-hal yang menggembirakan, menyenangkan.

Saya pernah bertanya soal ini pada seseorang yang sangat saya hormati dan menjadi panutan saya. Beliau memberi jawaban sederhana saja: kalau engkau bisa menemukan dan merasakan kegembiraan dalam hal apa saja, maka semua akan baik-baik saja sebab, jika bisa seperti itu, yang ada hanya alhamdulillah. Jadi hidup itu apa sih, tanyaku penasaran.

Dengan tertawa beliau menjawab kira-kira begini, Urip kui wis kadhung (terlanjur). Kamu tu sudah terlanjur hidup, terus mau apa? Wis kadhung urip kok ora gembira.

Kami yang mendengar tertawa.

— Aku wis kadhung urip.

Read my stories and other works at : https://karyakarsa.com/embahnyutz

Leave a comment