Mengumpat

beautiful-wood-fence-wallpaper-1

Aku pernah mencoba menghitung berapa banyak umpatan yang kubaca di media sosial pada satu hari, dari siang sampe malam: “goblok! munafik! sesat! tolol! bunuh! bakar! binasakan!” dan yang sejenisnya. Bisa puluhan bahkan ratusan. Tulisan umpatan itu bisa kita jumpai di kolom komentar yang ramai dengan perdebatan, termasuk dalam perdebatan masalah agama.

Dalam pertemuan dunia nyata, orang akan berpikir dua tiga kali sebelum melontarkan kata-kata semacam itu, sebab bisa jadi langsung menimbulkan baku-jotos. Tetapi di sini, di media sosial, kita bisa enteng saja melampiaskan kekesalan dengan memilih kata yang paling kasar tanpa takut dijotosi. Apalagi jika kita menggunakan anonim. Tetapi orang sering lupa pada pepatah lama: kata-kata bisa lebih tajam daripada pedang. Jangan heran jika banyak orang memilih memblokir atau meng-unfriend akun lain yang selalu berkomentar kasar. Cobalah tanya dan lihat pada hati sendiri: seberapa sesak dada kita, jengkel hati kita, setiap membaca umpatan-umpatan — dan yang lebih menyesakkan barangkali adalah umpatan itu datang dari orang-orang yang beriman kepada Nabi yang berakhlak karimah dan yang tugasnya menyempurnakan akhlak.

Kita menulis kasar, melampiaskan kegusaran dan kemarahan karena berbeda pendapat, dengan tanpa sadar menyakiti hati pembaca. Tak semua pembaca punya kelenturan yang sama dalam menghadapi umpatan. Ada orang-orang yang berperasaan halus, welas asih, namun tak cukup tabah menerima atau membaca orang saling mengumpat. Kita selalu bisa menemukan akun-akun di media sosial beradu pendapat sambil berusaha menjatuhkan pendapat lawan bukan dengan argumen, namun dengan tulisan singkat, “Goblok! Baca Kitab lagi! Sono belajar ke ulama, tolol jangan dipiara!! Elu munafik!!! Musuh Allah!! Laknat kau!!!”

Sekarang aku membayangkan: anak-anak yang baru gede, baru saja diizinkan orang tuanya menjelajah media sosial di internet, membaca tulisan-tulisan semacam itu. Maka yang terjadi adalah: Tulisan kasar kita, tulisan kita yang meremehkan dan menyinyiri orang dengan vulgar dan bahasa merendahkan, menjadi pelajaran pertama yang diterima anak-anak kita di dunia internet. Orang yang biasa tinggal di tempat sampah, lama-lama tidak akan terganggu oleh bau busuknya. Dengan cara yang sama, anak-anak muda yang selalu membaca tulisan umpatan, lalu sesekali ikut-ikutan, lama-lama terbiasa mengumpat dan merendahkan orang lain tanpa pandang bulu dan tanpa rasa bersalah. Bahkan kepada orang tua pun bisa dengan enteng menulis “Ndhasmu!!”, sebuah makian paling kasar dalam bahasa jawa.

Di media sosial orang bisa tergoda memamerkan keburukan, entah sengaja atau tidak; dan bahkan tanpa mereka sadari, media sosial menggoda orang untuk menunjukkan sisi gelapnya ke muka umum. Kita membuka aib kita sendiri, yang sebenarnya telah ditutup oleh Allah. Kita tak peduli siapa yang kita maki-maki, siapa yang kita nyinyiri, tanpa mengukur diri, tanpa melihat seberapa besar kemampuan kita. Dalam kasus ekstrim, orang yang baru belajar dua tiga tahun bisa menggoblok-goblokkan ulama sepuh yang telah belajar puluhan tahun; orang yang baru belajar mengenal ilmu dunia, bisa dengan enteng menyindir dengan sinis orang-orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia keilmuan. Media sosial membuat kita lupa diri, lupa mawas diri, “ora empan papan” kata orang Jawa. Orang yang lupa diri dan tak mawas diri akan sulit introspeksi, dan lupa pada akhlak, dan mendorong orang mudah untuk menyakiti dan mempermalukan hati orang lain tanpa diri merasa bersalah sama sekali. Orang jadi kebal dari rasa bersalah. Mereka selalu punya dalih untuk menjustifikasi umpatannya — bahkan bisa membawa-bawa dalil agama. Pada gilirannya, yang diumpat dan dicaci-maki juga punya dalil, sehingga pertengkaran akan berlarut-larut,yang ujung-ujungnya saling membenci. Jika sudah begini, maka orang akan cenderung hanya mau mendengar dan membaca apa-apa yang memang ia ingin dengar dan baca. Maka orang akan masuk dalam “gelembung merasa benar sendiri” tanpa mau sedikitpun melihat kemungkinan bahwa dirinya bisa juga salah.

Jika kelak anak-anak muda semakin banyak yang mudah mengumpat, tak menghargai sesama, tak hormat pada orang tua dan tak sayang pada yang muda, mungkin kitalah yang mengajari mereka, atau paling tidak kita ikut menyumbang pelajaran umpatan dan sikap tak hormat, melalui status dan komentar kita di internet.

“Belum tibakah saatnya bagi orang beriman untuk merendahkan hati/tunduk (khusyu’) mengingat Allah” — sampai kapan kita terus berusaha mencari-cari kesalahan orang lain dan mengumpat mereka, dan juga merasa bangga dan yakin diri kita jauh lebih baik daripada mereka, hingga lupa pada muhasabah, melihat dan mengoreksi kesalahan dalam diri sendiri?

Segala manfaat atau mudharat yang kita berikan dan terima di media sosial akan tergantung pada apa-apa yang ada di dalam diri kita sendiri.

Leave a comment