Sudut Pandang

pointview

Kita terkadang secara tak sadar mengasumsikan bahwa kita bisa mengendalikan makna yang hendak kita sampaikan melalui tulisan-tulisan kita. Namun sebenarnya kita tak bisa mengontrol sepenuhnya atas teks yang telah kita artikulasikan dalam kata-kata itu, sebab selalu saja ada orang-orang yang membaca tulisan kita akan menafsirkannya dengan cara yang berbeda – bahkan bertentangan – dengan apa yang kita maksud melalui tulisan. Orang selalu punya sudut pandang masing-masing.

Sudut pandang seseorang jarang yang bisa sama dan sebangun dengan sudut pandang orang lainnya. Orang bahkan bisa berdebat untuk sesuatu yang sama. Perdebatan sebenarnya bukan masalah jika itu dilakukan dalam batas-batas prinsip keilmuan yang benar. Namun yang terjadi di media sosial belakangan ini perdebatan tak lagi muncul sebagai perdebatan untuk mencari kebenaran atau setidaknya mencari titik temu, melainkan untuk mencari pembenaran. Hal ini lebih tepat disebut sebagai pertengkaran ketimbang perdebatan. Dalam model pertengkaran ini, orang tidak akan peduli pada fakta objektif atau kaidah keilmuan, sebab yang penting adalah menunjukkan pendapatnya sendiri yang paling benar. Maka yang sering terjadi bukanlah penyajian argumen yang kokoh dan objektif untuk mempertahankan pendapat, tetapi lebih sering ke serangan ad hominem.

Kita terkadang lupa bahwa kita seringkali memahami dunia berdasarkan siapa diri kita dan/atau merefleksikan apa-apa yang tersimpan dalam hati dan hal-hal yang sangat kita perhatikan; seperti kata pepatah lama: “ketika seorang pencuri bertemu orang suci, yang menjadi perhatiannya hanyalah berapa banyak uang di kantungnya.” Jika sudut pandang kita dilandasi oleh kebencian, misalnya, maka saat melihat kebenaran dan kebajikan apapun yang dilakukan orang lain, kita selalu melihatnya dari sudut pandang yang bertujuan melemahkan atau mendelegitimasi kebenaran dan kebajikan orang lain itu. Atau jika seseorang selalu merasa benar di dunia ini dan menganggap sudut pandang orang lain selalu salah, maka sekalipun orang bertemu ulama mumpuni atau Wali Allah sekalipun, orang tetap akan mengatakan sang ulama atau wali itu adalah salah atau sesat.

Itulah sebabnya, kadang-kadang orang pandai dan memiliki banyak ilmu sering jatuh dalam arogansi intelektual seperti itu. Sebab mereka lupa bahwa apa-apa yang dipikirkan dan terlintas di akal selalu berhubungan dengan apa-apa yang tersimpan dalam hati. Meereka lupa bahwa sudut pandang orang bukan hanya dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajari dari akal-pikiran,  tetapi juga dari kondisi hati dan ruhani. Bahkan kondisi ruhani dan hati seseorang inilah yang justru lebih kuat pengaruhnya sehingga akal-pikiran menuruti kehendak hatinya. Misalnya, jika hati telah dipenuhi oleh kebencian hingga taraf menguasai pemikiran kita, maka kecerdasan akal kita akan digunakan untuk menciptakan dalih-dalih cerdas untuk menjustifikasi kebencian kita. Jika hati sudah begitu cinta dunia dan serakah, maka pemikiran yang cerdas akan digunakan untuk mensiasati aturan-aturan dan mencari justifikasi yang canggih atas keserakahannya untuk menutupi hatinya yang sudah kemaruk pada dunia.

Kalau sudah demikian, maka berlakulah apa yang sering diungkapkan orang: “Pekerjaan yang paling sia-sia di muka bumi adalah menasihati orang yang sedang jatuh cinta.” Ini bukan hanya berlaku pada cinta-asmara dua manusia; tetapi juga berlaku pada cinta jenis lainnya. Orang yang sudah sangat mencintai kekuasaan dunia, mencintai keserakahan dirinya sendiri, mencintai rasa benci dalam dirinya sendiri kepada orang lain, mencintai prasangka dirinya sebagai orang paling baik dan benar, maka ia akan sulit untuk dinasihati, sulit untuk diyakinkan akan kesalahannya bahkan jika kita sodorkan bukti benar, sangat jelas, dan objektif.

Demikianlah mengapa banyak terjadi pertengkaran tak perlu karena orang lupa bahwa sudut pandang kita bergantung pada akal dan kondisi hati (ruhani). Hanya berusaha pintar, tanpa berusaha mensucikan kondisi ruhani (tazkiyatun nafs) akan sulit memunculkan sikap dan perbuatan yang mencerminkan rahmatan lil alamin.

Wa Allahu a’lam

 

 

Leave a comment