Nyaris setiap pagi masjid sebelah utara rumahku mengumumkan berita lelayu, entah kabar dari kampung, tetangga kampung atau bahkan kabar dari kelurahan lain. Seolah-olah setiap pagi Tuhan mengirim pesan kepada warga sebelum beraktivitas kerja agar tidak memaksakan diri atau serakah dalam bekerja atau mencari uang. Sebab, sewaktu-waktu namamulah yang akan diumumkan dalam berita lelayu.
Juga hampir setiap minggu aku membaca ucapan duka di socmed. Membuatku sadar suatu saat namaku akan disebut-sebut dalam ucapan belasungkawa. Lantas hanya tersisa kenangan, akun-akun socmed yang tak pernah aktif lagi, tinggal nama dan foto-foto yang, jika tak dihapus oleh ahli waris atau admin, akan terus terpampang bertahun-tahun, menjadi semacam “online obituary,” sebelum akhirnya namaku dilupakan orang sebagaimana jutaan nama lain yang tak seorangpun pernah ingat lagi.
Berita lelayu terdengar nyaris setiap pagi, namun semua bagaikan angin lalu bagi sebagian orang yang tidak peduli atau terlalu mencintai dunia. Bagi sebagian lainnya, berita lelayu mungkin ada hikmahnya, membuat mereka selalu ingat bahwa kita bisa mati kapan saja dan hidup tak hanya soal angka, ambisi, kemewahan, kebanggaan, kenyamanan, popularitas, kedudukan dan kekuasaan, atau retweet, jempol like, dan komentar caci-maki 140 karakter di Twitter dan/atau di kolom komentar status Facebook.
Lalu engkau mungkin bertanya-tanya:
Seberapa sering kita ingat maut,
dan dengan cara apa kita akan mati dan bagaimana kelak kita dikenang
baik itu di dunia nyata maupun virtual?
Advertisements