Distorsi Dalam Ibadah

gambar abstrak (8)

| When you lose everything you want, you find the only thing you need |

Terkadang orang sulit membedakan keinginan dengan kebutuhan. Maka kadang-kadang Tuhan membuat orang kecewa setengah mati, atau pelan-pelan memudarkan ribuan keinginan di hati seseorang, atau memaksa seseorang meninggalkan keinginan dengan cara yang ‘menyakitkan,’ hingga yang tersisa hanyalah kebutuhannya saja. Tetapi apa yang sebenarnya kita butuhkan?

Tentu tidak selalu semudah itu kita menjalani dan menerima rasa kecewa. Oleh sebab itu, di jalan ruhani, guru-guru selalu mengajarkan untuk selalu mengingat-Nya (zikir). Salah satu tujuan dari zikir itu adalah melepaskan secara perlahan-lahan kemelekatan kita pada keinginan dan memupuskan anggapan kita memiliki kuasa penuh atas konsekuensi dari keputusan kita. Lantas apakah kita sudah berzikir setiap hari kita otomatis akan menjadi tidak mudah kecewa dan sedih? Sayangnya, kenyataannya tidak seotomatis itu. Kecewa dan kesedihan datang silih berganti. Hal semacam ini biasanya terjadi ketika amal zikir atau ibadah kita tidak dipandu dengan pengetahuan yang mendalam tentang aspek syariat, etika, akhlak dan upaya mempelajari dan mengenal diri sendiri secara lebih mendalam. Orang kadang lupa bahwa ibadah juga mengandung bahaya tersendiri jika tidak dibawah tuntunan dari orang yang sudah mendalam ilmu agamanya.

Orang yang rajin beribadah hanya dalam tataran lahiriah saja, tanpa memperhatikan unsur keruhanian di balik segala tindak ibadah, akan mudah terjebak oleh muslihat iblis dan hawa–nafsu. Hanya karena rajin ibadah terkadang seseorang lupa bahwa apa yang dilakukannya itu tidak lepas dari peran serta Tuhan. Ini yang disebut lalai dalam beribadah pada level yang lebih mendalam. Adalah benar orang shalat, puasa dan sebagainya itu dapat dikategorikan sebagai ibadah, namun jika tidak disertai dengan hudhur, yakni merasakan kehadiran Allah dalam setiap ucapan dan perbuatannya, maka alih-alih ibadah itu memperbaiki diri, justru ibadah itu merusak dirinya sendiri. Dalam hal ini ibadah, yang secara luas berarti melakukan tindak mengakui kehambaan dan karenanya, sebagai hamba harus mematuhi perintah tuannya, menjadi terdistorsi dari sisi tujuannya. Orang yang beribadah hanya dengan memandang dirinya sendiri tanpa menyertakan ingatan dan kesadaran Ilahiah, akan secara halus dibelokkan oleh hawa–nafsu dan godaan setan menjadi beribadah dalam makna yang berbeda tanpa disadari orang itu: yakni, ia beribadah kepada dirinya sendiri, kepada hawa-nafsunya sendiri.

Tentu kedengarannya agak aneh jika dikatakan jika ada orang yang beribadah kepada Tuhan namun justru berakhir dengan menciptakan berhala baru, seperti menyembah anggapan dirinya sendiri tentang kebenaran, menyembah agama berdasarkan keyakinannya sendiri tentang apa itu yang benar menurut jalan pikirannya sendiri, dan yang lebih buruk adalah orang justru menyembah dirinya sendiri. Jika sudah demikian, orang sangat mungkin akan tergesa-gesa dalam beragama. Tanpa merasa perlu belajar lebih mendalam tentang berbagai macam aspek dalam agama, orang dengan mudah mengeluarkan fatwa dan pendapat hukum agama sendiri tanpa menggunakan metodologi yang memadai dan benar, atau menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk kepentingannya sendiri dan menjustifikasi gagasannya sendiri.

Dalam level tertinggi, orang semacam ini kadang akan merasa dirinya jauh lebih dekat kepada Tuhan  dibandingkan orang lain. Dan karena merasa paling dekat dan paling paham kehendak-Nya, ia kemudian tak mau mentolerir sedikitpun perbedaan penafsiran. Yang tidak sesuai dengan gagasannya langsung dicap sesat. Ini sama artinya dengan menyamakan penafsiran dan pemahamannya tentang agama sebagai sama dengan pemahaman kanjeng Nabi atau bahkan Tuhan. Seandainya orang ini terus-menerus berlaku demikian, ia secara tersirat menganggap dirinya sebagai setara dengan Tuhan.  Ia menjadi sering merasa lebih tahu cara masuk surga ketimbang Tuhan, atau bahkan merasa lebih memahami Tuhan ketimbang Tuhan sendiri. Jadinya, meski ia bersyahadat dan beribadah, tetapi ia masih terus saja memasukkan makanan dan minuman yang diharamkan Tuhan ke dalam perut setiap hari; atau mencuri uang rakyat setiap hari, dan merasa tetap tak bersalah; atau setidaknya merasa lebih kasih sayang pada sesama dan menganggap Tuhan pasti begini dan begitu karena rahmat dan kasih-Nya. Diam-diam ia bahkan tidak merasa membutuhkan hidayah-Nya untuk meniti jalan yang lurus dan diridhoi-Nya.

Tentu benar Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang, tetapi jika kita mengaku pengikut kanjeng Rasulullah Muhammad tentu kita juga tahu adalah benar Tuhan itu Mahaadil, Mahamenghukum dan Maha membalas atas apa-apa yang kita kerjakan. Tuhan yang punya jalan, punya semesta dan yang menentukan segalanya, bukan amal-ibadah orang yang akan menentukan segalanya – jika demikian halnya, lantas mengapa kita bisa merasa lebih dekat dengan-Nya ketimbang orang lain?

Karena itulah, kadang-kadang Tuhan terus memberi rasa kecewa kepada kita meski kita sudah beribadah, agar kita tercegah dari jebakan yang mengarah kepada pemberhalaan diri sendiri semacam itu; sebagai pengingat bahwa tidak semua keinginan bisa terpenuhi karena kita bukan Tuhan; sebagai teguran agar kita selalu mengembalikan urusan kepada Tuhan dan tidak merasa mampu beribadah tanpa bimbingan dan petunjuk-Nya; sebagai peringatan agar kita tidak sombong dan merendahkan kecerdasan orang lain hanya karena sudah merasa pandai dan cerdas dalam mempelajari fenomena agama, sosial, politik dan sebagainya hingga kita lupa bahwa segala argumentasi verbal dan intelektual itu tidak akan berbuah baik jika muncul dari benih arogansi intelektual; sebagai pengingat tentang apa sejatinya yang kita butuhkan sebagai makhluk-Nya.

Whatever comes, comes from a need,
a sore distress, a hurting want.

Don’t grieve for what doesn’t come.
Some things that don’t happen
keep disasters from happening.

Wa Allahu a’lam.

 

Leave a comment