JUM’AT YANG ENTAH

cahcilik

Jam sebelas seperempat. Kamar pengap.  Aku menguap. Ini hari Jum’at. 
Hari pendek kata sebagian orang. Hari baik kata sebagian orang yang lainnya.
Ah, terserah apa kata orang, yang jelas aku harus mandI segera.
Lalu pergi ke masjid untuk shalat Jum’at. 

Mandi kilat. Yang penting badan bau sabun biar dikira baik-baik dirawat. Dandan cepat. Asal baju bersih dan lengkap tutup aurat. Rambut cukup di usap tangan sebab tak panjang-panjang amat. Bercermin sekejap, lihat-lihat barangkali masih ada kotoran mata menempel lekat. Jam setengah dua belas lewat detik keempat aku berangkat cepat. Takut tak kebagian tempat. Saat kututup pintu kamar seekor cicak dari sudutnya merayap, mendadak tanganku hangat. Ah, sialan, di gagang pintu ada tahi cecak melekat. tentu saja tanganku terkena tahi coklat. Bangsat! Harus bersuci dua kali lipat. 

Di luar panas sudah. Matahari telah naik melebihi sepenggalah. Aku berjalan lekas hingga terasa gerah. Sesampai di masjid masih ada tempat lalu aku cepat-cepat duduk sembari melepas lelah. Oh ya, sebelum duduk tentu saja aku shalat sunnah. Pengeras suara memutar rekaman tilawah. Jam dua belas lebih tiga menit setengah. Khotib mulai khotbah.

***

Aku duduk terkantuk-kantuk. Suara pak khatib mantap dan berat betul. Lalu aku duduk dengan kaki kupeluk, hingga ada sedikit celah di sisi kiriku. Seorang lelaki berjenggot di sisi kananku. Baru lima menit khotbah, datang lelaki berdiri tepat dibelakangku, Kepalanya clingak-clinguk. Lalu ia menepuk pundakku. “Permisi mas,” katanya sambil senyum. Ia memberi isyarat agar aku menggeser posisi dudukku. Padahal tempatnya sudah sempit bagiku. Lalu dengan cuek dia masuk ke celah yang sempit itu dan shalat sunnah dengan mata terpejam seakan begitu khusyuk. “Buset betul!” Dalam hati aku mengeluh. Ini benar-benar mengganggu kenyamanan orang duduk. Bayangkan, kini aku terhimpit di tengah, tak bisa bergerak, apalagi setelah dia duduk bersila dengan lututnya menimpa pahaku. Dalam hati aku memaki-maki ‘Asu!’ Dia mengajak salaman sambil senyum. Aku ogah-ogahan menyambut tangannya yang terulur itu. Masya Allah, mungkin karena jengkel, rasanya wajahnya begitu jelek dan seperti mengejekku. Sehabis itu aku terpaksa maju sedikit ke depan, dan dia bisa nyaman duduk. Menyumpah-nyumpah lagi hatiku. Aku datang lebih dulu! Enak saja dia main susup. Dudukpun tak lagi nyaman hingga hilang rasa kantuk. 

Jam menunjuk dua belas seperempat, dua belas dua puluh, lalu dua belas dua puluh lima. Namun  pak khatib masih asyik berkhotbah. Khotbahnya mengandung unsur politik segala dan menyalah-nyalahkan pendapat yang tak sepaham dengannya. Jam dua belas tiga puluh lima, belum juga masuk khotbah kedua. Kedongkolanku mulai menyala. Bagaimana tidak? Sudah duduk tak nyaman, lama lagi khotbahnya! Kupandang khatib itu, dan wajahnya juga menjadi tampak jelek di mata. Aku mendengus sebal. Bayangkan, tiga puluh lima menit belum juga usai juga. Pantat mulai panas. Hawa tambah gerah dan aku sedikit berkeringat. Sungguh tersiksa. Kupikir khatib itu sewenang-wenang. Mungkin karena merasa didukung Tuhan, dia seenaknya saja khotbah tanpa mempedulikan nasib jamaah. Padahal dari sekian jamaah itu ada yang mesti kerja, mungkin ada yang harus segera menyelesaikan suatu urusan, mungkin ada yang harus pulang karena anaknya sakit parah, atau istrinya hamil tua, atau ada yang mengantuk berat. Dan, menurutku bahkan sangat mungkin kebanyakan jamaah sudah bosan. Sekali lagi dalam hati aku menyumpah-nyumpah.

Lelaki berjenggot di sebelah kananku tidur, bahkan mendengkur. Wah suaranya seperti burung tekukur. Khotbah pertama usai jam dua belas empat puluh. Khotbah kedua pak khatib berdoa dengan suara khusyuk. Lelaki yang duduk di kananku bangun, menguap lebar, tapi mulutnya tak ditutup. “Kadal buntung!” makiku dalam hati sebab dari mulutnya menyebar aroma tak karuan menusuk hidung. Kurang ajar betul. Dan, masya Allah, doa sang khatib panjangnya minta ampun. Bahkan pak khatib sambil menangis tergugu.

Dia berdoa begitu lama sampai-sampai tanganku yang kuangkat di depan dada sudah pegal. Akhirnya kuturunkan saja dipangkuanku dengan telapak tangan terbuka ke atas. Aku tak lagi ikut mengucapkan “amiin” sebab sudah lelah. Akhirnya penderitaan ini usai juga. Jadi khotbah selesai di menit ke empat puluh lima! Begitu pak khatib mengakhiri doanya, aku mengucap amiin dengan sekeras-kerasnya.

Sialnya, bahkan saat shalat hati ini bukannya bertambah tenang tetapi malah tambah sebal. Bagaimana tidak? Coba bayangkan, sudah berdirinya tergencet karena berdesak-desakan, orang berjenggot di kananku menginjak jari kelingking kakiku dengan kakinya. Risih rasanya. Ketika kugeser sedikit ke kiri, eeh, kakinya tak mau kalah; ia bersikeras menginjak kelingkingku lagi dengan menggeser kakinya. Ini pasti orang yang melaksanakan perintah nabi yang menyatakan agar tidak ada celah kosong dalam barisan shalat. Agar tak dimasuki setan. Jadi rupanya dia sedang berusaha menghalang-halangi setan masuk barisan. Mungkin pikirnya celah sekecil apapun akan dimasuki setan, jadi jari kaki harus saling menempel rapat. Tetapi dia tidak merapatkan jari melainkan menginjak! Sialan. Yang tidak dia ketahui adalah dengan menginjak kelingkingku setannya malah masuk ke hatiku yang sudah sebal. Jadinya dongkol bertambah-tambah! Ya sudah, kubiarkan saja. Aku meliriknya, ia tampak asyik komat-kamit, jenggotnya bergerak-gerak. Mungkin karena dongkol kulihat jenggot orang itu seperti jenggot kambing bandot, panjang, lancip, meliuk ke atas di ujungnya. Aku tersenyum geli, masih campur dongkol tentunya. 

Celakanya, surat yang dibaca sang imam juga panjang. Mungkin dia hafal al-Qur’an! Mengapa ia tak berpikir bahwa makmumnya itu bermacam-macam. Ada yang kuat berdiri lama, ada yang lemah, ada yang kuat imannya hingga tak masalah dengan surat panjang, dan ada juga yang seperti diriku, yang lemah imannya dan suka jengkel kalau suratnya panjang-panjang. Pikiranku ke mana-mana. Hawa rasanya bertambah gerah. Shalat dua rakaat itu rasanya lama luar biasa. Kakiku agak kesemutan. Setelah salam, orang-orang banyak yang bergegas pulang. Aku masih duduk mencoba menentramkan hati, tapi tak juga bisa. Sudah sepuluh menit berusaha menghilangkan stres dan kejengkelan. Aku menarik nafas dalam-dalam seperti diajarkan oleh buku-buku psikologi namun yang kuharapkan tak kunjung datang. Ya sudah, lebih baik aku cepat pulang.

Setelah meliuk-liukkan badan yang pegal sebentar, aku segera keluar menuju pintu depan. Halaman sudah agak sepi, tinggal beberapa orang. Aku menuruni undak-undakan mesjid dan, setelah tengak-tengok kiri-kanan beberapa lama aku bingung sejenak; dan dalam hitungan detik kejengkelanku yang masih awet tadi kini memuncak mencapai ubun-ubun kepala! 

Buset! Sialan! Kampret! Asu! Kadal! Bajingan! Sandalku hilang! Aku melangkah pulang dengan kepala dan hati panas dan kaki hampir mlocot karena berjalan di aspal panas tanpa alas. Sungguh jumat yang penuh keringat dan panas.

Khusus hari Jum’at ini bukan hari pendek, juga bukan hari baik, seperti kata orang.

4 thoughts on “JUM’AT YANG ENTAH

Leave a comment