Haluwehisme: Menjaga Kewarasan Secara Pekok

whyso

Ucapan haluweh adalah ucapan cuek, atau masa bodoh, khas orang Jawa. Ini adalah ekspresi ketidakpedulian pada hal-hal yang dirasa tidak penting. Tentu yang dianggap “tidak penting” itu sangat subjektif menurut konteks si pengucap. Dalam kasus penghinaan atas dasar kebencian, sikap haluweh bukan sekadar cuek. Sebab ada unsur membalas yang halus di situ, sebuah balasan tanpa kemarahan, yang membuat orang yang  membenci atau menghina boleh jadi tambah marah namun tak bisa berbuat apa-apa untuk menciptakan kemarahan di hati orang yang diejeknya. Kadang ucapan ujar-kebencian atau hate speech itu justru dimanfaatkan secara positif dan menjadi keuntungan. Sebagai contoh terbaru adalah bagaimana anak-anak presiden justru bersikap haluweh dengan memanfaatkan kebencian orang pada bapaknya untuk menjadi ajang promosi dagangan mereka.

Haluweh terhadap kebencian adalah pembalasan tanpa membenci. Kebencian diterima sebagai kebencian, dan haluweh menetralisir hawa panas kebencian itu dengan cara santai dan biasanya dengan cengengesan agar hati kita tak mudah ikut panas dan marah. Sikap cengengesan biasanya dipadukan dengan sikap “pekok,” dalam arti yang lebih positif, yakni seolah goblok dan seolah tidak paham maksud si pengucap. Ujar kebencian dibelokkan menjadi sesuatu yang lucu dan membuat tertawa. Kalaupun tak bisa menjadi lucu, sikap haluweh akan membuat ujar-kebencian yang kasar sekalipun akan seperti batu yang dilempar ke air danau. Air bergolak sedikit, lalu tenang kembali.

Tentu sikap haluweh tidak selalu bisa diterapkan dalam semua situasi, namun dalam berbagai situasi sikap ini sangat membantu syaraf kita agar tetap tenang dan relaks, bisa menghindarkan diri dari perdebatan dan caci-maki panas yang tak bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan tidak bermanfaat bagi pengembangan daya pikir. Haluweh juga bisa dipakai sebagai cara pekok untuk mengimbangi apa yang diistilahkan sebagai “gengsi,” atau “jaim” dalam bahasa anak gaul.  Ini contoh kecil: Misalnya, beberapa kawan saya bahkan bersikap haluweh ketika foto dirinya dioprek secara lucu dan sekilas seperti sebuah ejekan atau bully. Sebab ia tahu bahwa itulah cara kawannya menjalin relasi yang hangat. Biasanya hal ini seperti ini bersifat timbal-balik. Yang mem-bully selalu siap di-bully-balik. Dari perspektif orang yang tidak biasa haluweh, tindakan saling mem-bully adalah konyol dan goblok. Ya memang begitu perwujudan dari sikap haluweh.

Tentu tidak semua orang memiliki mental yang sama. Jika tidak sama-sama haluweh, maka salah satu bisa jadi baper, tersinggung berat. Saya pernah mengalami kasus semacam ini ketika saya bercanda dengan gaya haluweh, dan rupanya yang saya ajak bercanda tidak terima. Lalu meng-unfollow saya di socmed. Namun saya ya haluweh saja.  Itu berarti isyarat bahwa saya tidak boleh bercanda dengan cara semacam itu dengan orang tersebut. Dan saya akan menahan diri dengan tidak lagi membercandainya dengan cara haluweh. Setiap orang punya sikap masing-masing dan kelenturan masing-masing, dan saya menghormatinya.

Ini bukan berarti yang sama-sama haluweh bebas dari rasa tersinggung. Terkadang ada juga yang tersinggung, namun kelenturan mental haluweh-nya mengubah rasa ketersinggungan itu menjadi upaya membalas dengan cara yang lucu pula, atau memperbesar ruang haluweh dalam dirinya sehingga ia mudah kembali relaks.  Orang-orang yang sudah sedemikian akrab akan bisa mengelola relasi haluweh ini dengan cara pekok. Jadi jangan heran jika sesama sahabat baik yang chemistry ke-haluwehan-nya sudah mapan kadang memberi sapaan yang tidak seperti menunjukkan rasa hormat. Misalnya, “Woi, asu tenan. Kok isih urip kowe?” “Bajingan, neng endi wae kok ora tau njedhul?”

Sikap haluweh juga tampak pada diri orang yang memang sudah tenang dan tidak mudah terseret isu atau kabar dan situasi yang tidak jelas. Penjual sate dan penjual kacang di lokasi serangan bom di Jakarta kemarin adalah contoh bagaimana mereka bersikap haluweh terhadap keributan yang tidak bersinggungan langsung dengan diri mereka. Bagi mereka, keributan itu sudah ada yang mengurus. Mereka fokus pada apa yang bisa mereka kerjakan dan bermanfaat. Jadi meski ada ledakan terdengar, bapak penjual sate tetap mengipasi sate: “Pantang pulang sebelum matang.”  Ia tetap mencari nafkah seperti biasa tanpa ikut-ikutan sok ribut dan tak panik. Sikap ini jelas beda dengan orang-orang yang terlalu serius. Meski tidak berada di lokasi, tidak menyaksikan langsung, orang-orang itu sok tahu dan ribut sendiri seolah-olah mengalami langsung di lokasi. Lalu ujung-ujungnya mereka ada yang berdebat, ada yang menyalahkan yang selfie, menganggap yang jualan tolol, menyalahkan polisi, menyalahkan BIN, menyalahkan tentara, menyalahkan presiden – kalau perlu menyalahkan Tuhan jika merasa kurang puas dengan menyalah-nyalahkan situasi dan pihak lain.

Di jejaring sosial yang begitu sering sliwar-sliwer ungkapan kebencian, sikap haluweh menjadi obat yang baik jika dilakukan dengan cara yang proporsional. Sikap haluweh membantu kita untuk lebih fokus pada hal-hal yang baik dan bermanfaat, pada hal-hal yang bisa kita tangani, hal-hal yang menyenangkan dan membikin ceria dan bikin syaraf tetap relaks dan sehat.

Banyak hal di dunia ini yang tidak bermanfaat bagi kita, atau bukan menjadi urusan kita. Tetapi jejaring sosial membuat kita kadang merasa ingin mengurus segala sesuatu, mengomentari segala sesuatu meski kita hanya tahu kepingan-kepingan kisah yang tak lengkap. Kita ingin tampil mencari panggung agar dianggap penting. Bagi sebagian orang yang suka bergaul di jejaring sosial, mereka berprinsip “aku komentar maka aku ada”

Kepada para komentator segala bidang itu, kita cukup haluweh-kan saja.

 

One thought on “Haluwehisme: Menjaga Kewarasan Secara Pekok

Leave a comment