Ibadah di Hati

abstract-256438.jpg

Hati adalah arasy Tuhan. Dalam riwayat yang sering dikutip para sufi, “seluruh langit dan bumi tak mampu menampung Aku, hanya hati yang mampu.” Tuhan juga bersabda yang kurang-lebih artinya, “Aku tidak memandang bentuk lahirmu, tetapi Aku memandang hatimu.”

Seorang Sufi menulis, “banyak dari kita yang mengabaikan tempat ibadah dalam hati. Selama ini kita membiarkan banyak berhala tumbuh dalam hati. Segala yang fana di dunia ini kita jadikan tuhan atau sesembahan. Kita menyembah kesuksesan dunia, ketenaran, kekuasaan dunia, dan harta. Banyak dari kita yang meluangkan lebih banyak waktu untuk mengejar tujuan-tujuan dunia … Tasawuf mengajarkan kita untuk menyucikan hati dan membersihkannya dari segala bentuk berhala yang selama ini kita simpan dan puja.” Penyucian hati dapat dikatakan, secara simbolis, sebagai upaya agar hati kita benar-benar layak sebagai singgasana Tuhan. Karenanya dalam beribadah, seseorang semestinya mengikutsertakan hatinya.

Misalnya, adalah mudah bagi kita untuk membaca dan menghapalkan doa atau shalawat. Namun mengajak hati untuk berdoa dan bershalawat itu lebih sukar. Adalah aneh jika kita rajin berdoa memohon rahmat kasih-sayang Allah dan bershalawat memohon syafaat dari Nabi namun perilaku dan ucapan kita selalu menampakkan kebencian dan keinginan untuk menghina dan merendahkan orang lain, apalagi ketika kebencian dan penghinaan itu hanya karena perbedaan pendapat, atau persaingan dalam berebut kekuasaan. Adalah aneh bila kita rajin membaca shalawat lalu mendaku amat mencintai Nabi tetapi melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak beliau perkenankan dan tidak beliau sukai. Itu karena doa dan shalawat kita bercampur dengan hawa-nafsu sehingga hati yang merupakan pusat ruhani tidak ikut berdoa dan bershalawat.

Karena itu, pengetahuan dan perbuatan kita tidak akan utuh kecuali kita bertindak berdasarkan pengetahuan dan “menghadirkan” Tuhan dalam ibadah kita. Seorang mursyid mengajarkan bahwa setiap tindakan dapat memengaruhi hati. Orang yang terbiasa mengumpat dan menyimpan kebencian, bahkan ketika kebencian itu diselubungi dengan kata-kata bijak dan menggunakan dalil-dalil agama demi membenarkan kebencian diri, maka perbuatan lahiriah yang tampak bermuatan religius namun berakar dari kebencian itu justru akan mengeraskan dan menggelapkan hati.

Perbuatan dan ucapan juga akan memengaruhi orang di sekitar kita. Dalam bahasa simbolis, seorang sufi mengatakan “tutur kata dari hati yang bersih akan menyebabkan sekuntum mawar mekar, sedangkan tutur kata dari hati yang dipenuhi amarah dan kebencian akan menumbuhkan duri yang melukai.” Setiap luka yang kita berikan pada hati orang lain pada hakikatnya adalah luka yang kita berikan kepada diri kita sendiri, sebab pada hakikatnya semua manusia satu jua akarnya. Kita tidak akan bisa membersihkan rasa benci dan dendam dalam hati kita dengan cara-cara melampiaskan benci dan dendam yang menyebabkan orang lain terpicu rasa marah dan bencinya. Lingkaran setan akan terbentuk dalam relasi semacam ini – dan celakanya, orang yang dikuasai oleh keinginan untuk saling membenci dan mengejek biasanya lupa bahwa perbuatan, ucapan dan tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

Sekarang bisakah kita membayangkan, kita berharap ampunan dari Tuhan, berharap syafaat dari kanjeng Nabi Muhammad, tetapi kita pulang ke akhirat dengan membawa begitu banyak dosa fitnah, benci, dendam, dusta, penghinaan, serakah? Dengan begitu banyak orang yang kita lukai hati dan perasaannya, tanpa sempat kita meminta maaf kepada mereka, lalu kita dengan tanpa rasa malu minta syafaat dari Kanjeng Nabi? Bagaimana kalau dari sekian banyak orang yang kita buat sakit hatinya itu ternyata lebih dicintai oleh Allah dan Nabi ketimbang diri kita, dan orang-orang itu meminta pertanggungjawaban kita di depan Allah dan Rasul-Nya di akhirat nanti? Orang-orang yang rajin berdoa dan bershalawat idealnya akan merasa malu jika menyembunyikan tumpukan dendam dan kebencian di hatinya. Orang bisa berkilah dengan berkata tidak membenci seseorang yang dia lukai hatinya, atau dengan alasan demi menegakkan kebenaran, tetapi Allah tahu benar apa-apa yang mendasari dari perbuatan seseorang yang menyebabkan hambaNya yang lain terluka hati dan perasaannya dan menderita hidupnya.

Inilah pentingnya jujur pada diri sendiri. Sebab, amal apapun yang kita lakukan, hanya diri kita dan Allah yang tahu apa niat sejati dan gerak-gerik hati yang mendasari perbuatan-perbuatan kita. Jujur pada diri sendiri, berarti pula jujur kepada Tuhan. Tidak mudah memang, karena ego di hati lebih suka menyalahkan orang lain dan keadaan ketimbang menyalahkan diri sendiri, sehingga amat sedikit yang mau bermuhasabah — tetapi meski tidak mudah karena butuh perjuangan seumur hidup, namun itu tidak mustahil, jika kita mau dan bertekad kuat membersihkan hati.

Wa Allahu a’lam

Leave a comment